Pembebasan diri dari guru spiritual

berspiritual mengandung makna bahwa kita membebaskan diri dari ikatan apapun, yang namanya laku spiritual adalah laku dimensi spiritual kita untuk tidak bergantung kepada yang lain selain Allah. pembebasan diri ini menjadi syarat mutlak untuk menuju kepada “laa ilaha ilallah”. dimensi spiritual tidak boleh terikat sehingga bisa menghambat perjalanan ruhaniah kita. pelepasan ini bak burung merpati yang terbang bebas… tidak tergantung lagi kepada majikannya. dalam berspiritual jika tergantung selain Allah maka akan menjadi hijab atau penghalang, termasuk dalam hal ini adalah guru spiritual.
guru spiritual memang diperlukan terutama untuk mengisi kawruh karena kawruh juga memegang peranan penting … nah namun setelah kawruh cukup maka selayaknya mulai murid meninggalkan ssecara spiritual guru nya untuk terbebas menuju ke Allah.
di beberapa laku spiritual seperti kaum tarekat ada ketakutan bahwa jika kita menuju ke Allah secara mandiri maka syetan yang akan membimbing…. alasan ini sebenarnya tidak tepat. bagaimana mungkin kita dengan ihlas menuju ke Allah kemudian Allah membiarkan syetan mengajari kita…. atau Allah menyesatkan kita. keteguhan dan keihlasan ke Allah lah yang akan menjaga kita untuk berspiritual.
beberapa murid yang belajar spiritual saya amati masih sangat tergantung dengan guru spiritual… pada sang guru spiritual tadi sudah menegaskan bahwa guru sejati adalah Allah maka BERGURULAH KEPADA ALLAH, jangan berguru kepada siapapun termasuk saya (guru spiritual tadi). namun ilmu ini atau ajaran ini sangatlah sulit dijalankan. kebanyakan, tetap saja sang murid bergantung kepada sosok guru spiritual….
pelajaran melepas guru spiritual ini bukan masalah etis atau tidak etis, bermoral atau tidak bermoral, tapi ini adalah ketegasan seorang salik yang berjalan menuju ke Allah…..
kalaupun guru itu tetap mengajarkan ya itu tanggung jawab beliau dan kitapun tetap hormat kepada beliau namun secara spiritual kita harus terbebas dari itu semua.
untuk bisa terbebas seorang murid harus benar benar mandiri …. karena murid harusnya tahu… kalaupun tidak sekarang nantipun sang guru akan meninggalkan kita.. jadi sejak sekarang seharusnya sudah harus belajar kepada Allah, gurunya Allah, …
terus bagaimana peranan guru spiritual dalam hal ini, jelas masih sangat penting, orang yang berspiritual baik guru maupun murid energinya akan selalu bersinergi. energi akan mengalir dari guru ke murid melalui jalinan kasih sayang dari guru dan penghormatan yang dalam dari sang murid… dengan sikap seprti ini ilmu akan barokah dan akan mengalir meski murid dan guru tidak bertatap muka secara langsung… (kalau bertatap muka tentunya daya yang bersinergi akan semakin besar).
pelepasan diri dari guru spiritual ini memang memerlukan syarat dan ketentuan… biasanya guru paham betul dalam hal ini kapan harus meninggalkan murid (menyapih) muridnya agar murid bisa mandiri ke Allah… (inilah guru spiritual yang mumpuni, tidak egois) atau secara tidak disadari guru, Allah mengatur kejadian kejadian interaksi guru-murid sehingga si murid bisa sadar bahwa Allah lah yang patut menjadi Guru bukan guru spiritual.
dalam proses penyapihan (pelepasan) guru ini biasanya murid mengalami goncangan emosional dan spiritual yang kuat, karena ada perubahan keadaan yang diterima si murid. untuk itu murid harus benar benar dewasa dalam berspiritual sehingga bisa lulus dalam ujian ini. tapi saking beratnya ujian ini sehingga banyak yang gagal dan akhirnya keluar dari jalan spiritual…..
untuk melakukan pembebasan ini sebaiknya kita tetapkan bahwa guru saya adalah Allah…. sedangkan guru spiritual adalah sahabat tua yang merupakan sahabat seperjalanan menuju ke Allah yang lebih dulu dan lebih senior….menerima pelajaran apapun yang diberikan kepada kita dari guru spiritual… jangan suudzan kepada guru spiritual, jangan melawan, jangan menentang (jika tidak cocok dengan kelakuannya menghindar saja atau diam)… hadiahkan fatihah kepada sahabat tua kita yang telah memperkenalkan kita kepada Allah…..selalu bertanya kepada Allah, meminta ijin kepada Allah, bergantung kepada Allah dalam setiap aktivitas….

beda ahli agama dengan orang beragama

jelas beda antara ahli agama dengan orang yang menjalankan agama atau orang beragama. seorang ahli agama adalah mereka yang betul betul mengetahui seluk beluk agama misalnya hadisnya hafal… qurannya hafal… bahkan tafisr ini tafsir itu dia hafal betul… sampai sejarahnya turunnya tiap ayat sangat hafal di luar kepala…. fiqh dia hafal dari berbagai madzhab…. diundang sana sini untuk berbicara masalah agama. masalah quran,, hadis…. mengajar tajwid dan seterusnya dan seterusnya. mereka lah ahli agama yang kalau berdiskusi mengajak debat sampai subuh pun dijalani… setelah subuh samapi magrib pun di lakoni…. itulah ahli agama.  tapi mereka sebatas ahli… sebatas tahu, sebatas ngerti, sebatas knowledge….. nah ahli agama ini belum tentu dia menjadi orang beragama, misalnya dia tahu tapi tidak mengamalkan, tahu sabar tapi tidak sabar, tahu menuduh orang negatif itu tidak baik.. masih saja dilakukan, mereka tahu menyalahkan orang sana sini, bahwa orang itu kafir, orang itu syirik…dll itu tidak baik masih saja hobinya menyalahkan sana menyalahkan sini… membidahkan kemlompok ini kellompok itu… dan seterusnya. seolah oleh banyak nya pengetahuannya tentang agama membuat dia / mermeka terjebak dalam kesombongan intelektual, kesombongan ilmu…. yang terwujud dalam suka debat, suka menyalahkan tapi dia sendiri pengalaman agamanya minim atau bahkan nol.

tipe tipe ahli agama ini kalau dia menjalankan sholat karena dalam fiqhnya disuruh sholat…. ini memang kelihatannya benar namun akan sangat berbahaya …. coba… kita cermati … dia nanti akan sholat sekedar sholat, sholat tanpa makna, sholat tanpa rasa..

sangat berlainan dengan orang bergama , orang beragama ini dalam menjalankan agamanya dia sangat paham kenapa Allah memerintahkan dia sholat, kenpaa Allah memerintahkan dia puasa…. sehingga argumen kenapa Allah inilah yang menjadi landasan kuat bagi dirinya untuk menjalankan seluruh ibadah dan seluruh amal kebaikan seperi yang diperintahkan Allah dalam Quran dan hadis.

menuhankan quran hadis lebih dari menTuhankan Allah

Dalam quran dan hadis kita diperintahkan Allah untuk menuhankan Allah bukan menuhankan Quran dan hadis. Ingat bahwa quran dan hadis bukan lah Allah atau bukan lah Tuhan, jadi tidak sepantasnya kita menempatkan quran dan hadis pada level tuhan. Tulisan ini mungkin agak mengagetkan kita, namun ini adalah kenyataan yang harus saya sampaikan karena jika ini terus menerus terjadi akan menyebabkan salah arah dalam beribadah (ingat juga makna ibadah, ibadah adalah mengabdi kepada Allah bukan yang lain). Apa salah arah dalam beribadah, jika kita menuhankan quran dan hadis… lebih dari men Tuhan kan Allah…sholatnya sekedar bacaan dan gerakan saja tidak menyertakan Allah sebagai Dzat yang di sembah dalam Sholat, dzikirnya sekedar amalan wiridan saja yang lupa terhadap Allah, puasanya sekedar menahan lapar dan haus saja tanpa mempedulikan bahwa puasa adalah jalan menuju kesucian menuju Allah, baca Al quran ya sekedar baca saja seperti baca novel …. tanpa ada ingatnya kepada Allah…. jadi intinya beribadah dengan “meninggalkan Allah” ….ini merupakan cerminan jelas bahwa kita menuhankan perintah Al Quran bukan men Tuhankan Allah.
Sekarang mari kita bahas seandainya kita menTuhan kan Allah maka kita akan memahami bahwa Allah memerintahkan dalam bentuk Quran dan Hadis…. kita mengikuti petunjuk quran dan hadis dengan tetap menTuhankan Allah. Kita sholat dengan tetap menTuhankan Allah yaitu sholat kita mengingat, memuja, menyembah, meminta, bersujud kepada Allah. Jika kita baca kita Al Quran maka ingatan kita adalah apa yang kita baca adalah kalam Ilahi bukan tulisan al quran … (wahyu) . dengan demikian kita tidak akan tersesat kepada yang bukan Allah
Sesuatu yang bukan Allah janganlah kita tuhankan, yang wajib kita Tuhankan hanyalah Allah. Secara tegas menuhankan selain Allah adalah syirik yang harus kita hindari. innani anallah laa ilaha ila ana fa’budni….