antara pemberian Allah dan Allah

Meski sangat beda tipis antara pemberian Allah dan Allah, namun kedua hal tersebut adalah “sangat beda”, beda tipis tapi mutlak perbedaannya, artinya keduanya tidak bisa disamakan. Contoh pemberian Allah adalah Surga, sedangkan Allah adalah yang memberikan atau yang membuat surga.

Dalam kajian kajian motivasi untuk beribadah, banyak ustad yang menggunakan pemberian Allah ini untuk memotivasi jamaahnya agar mau beribadah. Misalnya ketika memotivasi sholat atau puasa maka yang di iming-imingkan adalah pahala dan surga. Diharapkan dengan iming-iming tersebut orang mau menjalankan sholat dan puasa.

Setelah menjalankan puasa dan sholat tentunya motivasinya harus ditingkatkan kepada sesuatu yang memiliki nilai lebih tinggi dan hakiki. jika ibadah selalu dikaitkan dengan pahala dan surga maka ibadah tersebut bertujuan semata mata untuk “pemberian Allah yaitu surga dan pahala”. Padahal aslinya atau hakikinya Allah mewajibkan sholat agar manusia bisa bertemu dengan Allah, bukan sekedar mencari apa apa yang diberikan Allah.

Baik analogi yang mungkin bisa menjadi contoh adalah, kalau saya bersilaturahmi kepada orang tua saya, yang saya cari adalah orang tua saya bukan apa apa yang akan diberikan orang tua saya. Saya hanya ingin berjumpa dengan orang tua saya bukan makanan yang akan diberikan orang tua saya.

pemahaman ini sangat penting sekali karena jika salah maka ibadah kita dinilai “tidak ihlas”.  Sebab ihlas mengacu kepada “karena Allah”, jika ibadah bukan karena Allah, misalnya karena surga dan neraka maka ihlasnya juga karena surga dan neraka. Meski dalam hadis banyak memberikan fadilah dalam ibadah sebaiknya jika kita sudah beribadah, kita tingkatkan spiritualitas ibadah dengan hanya berharap kepada Allah bukan surga ataupun pahala.

ada seorang ulama sufi , ketika beliau ditanya pilih surga yang penuh makanan dan bidadari atau sholat dua rokaat, maka sufi tersebut memilih sholat dua rekaat. alasan sufi tersebut memilih sholat dua rekaat karena surga dan neraka masih ada keinginan nafs nya, tapi kalau sholat sufi tersebut bisa bertemu dengan Allah.

 

peran orang tua dalam pendidikan “islam”

Islam artinya berserah diri kepada Allah. Islam bukanlah sholat, dan islam bukanlah doa doa, serta islam bukanlah hal hal yang bersifat Fiqh, karena semua itu adalah tata cara untuk berserah kepada Allah. Maka peran utama dalam pendidikan anak sebelum baligh adalah mengajarkan anak untuk berserah kepada Allah. Mengajak anak memohon kepada Allah sesuai dengan bahasa Anak dan keinginan anak. Misalnya habis sholat anak kita minta untuk memohon kepada Allah apa apa yang diinginkannya saat ini. Anak nanti akan meminta sesuatu yang mereka inginkan, biasanya mereka meminta sesuatu yang nyata dan riil. Biarkan anak meminta sesuka keinginannya seperti minta mobil-mobilan, minta boneka. Kalau anak minta selamat dunia akhirat untuk usia 4 tahunan menurut saya malah kurang sesuai karena konsep selamat dunia malah kurang sesuai karena belum ada pemahaman tentang selamat dunia akhirat itu seperti apa.

pendidikan islam menekankan pada aspek kebergantungan kepada Allah secara mutlak. Pengajaran di fokuskan kepada sisi spiritual bukan kepada tataran fisik (fiqh). Fiqh diajarkan ketika anak menjelang baligh kalaupun diajarkan jauh sebelum baligh maka ajarkan dengan riang gembira, misalnya dengan menyanyikan doa tidur, menyanyikan doa makan , melantunkan doa doa sholat dengan nada yang gembira.

Mengajarkan anak untuk minta kepada ALlah pun juga tidak perlu anak disuruh serius. Biarkan anak meminta kepada Allah dengan sifat sifat kekanak-kanakkannya, justru dengan rasa akrab dengan Allah inilah mencerminkan anak sangat yakin dengan Allah. mengajarkan anak dengan berdoa akan menyebabkan anak akan belajar bagaimana bergantung kepada Allah yang nanti jika dia besar tidak lagi meminta kepada yang lain kecuali kepada Allah. kemampuan anak tidak bergantung selain kepada Allah akan memberikan kekuatan tersendiri ketika anak sudah mulai berpisah dengan orang tua, misalnya ketika anak menginjak remaja atau dewasa. kebanyakan anak akan ketika remaja masih saja bergantung kepada orang tua atau tidak bergantung kepada orang tua tapi kalau memiliki masalah tidak pernah menyampaikan nya kepada orang tua, dua dua nya sama bahayanya. Tapi jika anak bergantung kepada Allah maka kemanapun dia berada dan kapanpun dia ada, anak akan selalu merasa tenang karena ada Allah yang bantu.

Kekuatan spiritual inilah yang akan menjadikan anak kita sukses dunia akhirat.

kalau yang ditekankan dalam pendidikan islam itu fiqh dan fiqh maka dia akan menjadi orang ahli ibadah yang tidak percaya dan bergantung kepada Allah. Masalah yang dihadapi diselesaikan dengan akal logikanya yang katanya sesusai dengan syariah, padahal kadang masalah membutuhkan pencerahan spiritual. kita mendidik anak dalam ranah spiritual dan fiqh. karena di dalam fiqh inilah semua aktivitas “berserah kepada Allah” di latih, diperkuat dan di perdalam intensitasnya.

maka mari saya mengajak, kita didik anak kita sejak awal. Kita ajak mereka selalu melibatkan Allah SWT dalam setiap aktivitasnya. tidak perlu canggung atau malu kepada diri sendiri atau kepada anak. warisan yang paling utama yang kita berikan kepada Anak adalah mengenalkan Allah. 

Menyambut tahun baru imlek : sebuah refleksi subjektif

Tahun baru imlek saat ini di rayakan oleh orang china di seluruh dunia, termasuk di Negara Indonesia dan lebih khusus di solo. Berbagai symbol symbol digunakan dari mulai benda benda hingga sampai perilaku seperti tidak boleh menyapu lantai, yang konon “dewa rejeki akan ikut tersingkir”.

Symbol symbol yang digunakan tersebut tidak terlepas dari 3 hal :

  1. Keberuntungan
  2. Rejeki dan
  3. Berkah

3 hal ini lah yang menurut saya menjadi fokus ritual imlek. Dan sisi positif dari perayaan imlek adalah semakin kuatnya afirmasi untuk menyambut rejeki setahun kedepan. 3 hal tersebut juga bermuara kepada “materi” yaitu “uang”, sehingga efek fokus bahwa semua ritual di fokuskan kepada perolehan “uang” maka afirmasi yang dilakukan akan semakin kuat. Semakin kuat afirmasi tentunya akan semakin memberikan daya untuk mendatangkan rejeki dan uang.

Ternyata, afirmasi “rejeki” dalam perayaan imlek ini cukup mempengaruhi sikap dan perilaku orang china atau kalau di solo disebut dengan etnis tionghoa, dalam hal berdagang orang-orang china lebih memiliki etos kerja yang kuat dibandingkan dengan etnis jawa atau lainnya. Sikap wirausaha atau entrepreunership yang dimiliki etnis china lebih kuat, tentunya hal ini tidak terlepas dari afirmasi doa yang setiap hari di lakukan , tidak hanya pada saat imlek saja. Dan kita lihat hampir 90% etnis china berhasil dalam berdagang dan memiliki tingkat ekonomi yang lebih tinggi dengan etnis yang lain.

Afirmasi-afirmasi “rejeki” tersebut, juga membawa dampak negative yang sebaiknya perlu diatasi dengan konsep kebijaksanaan china yang lain. Jika terlalu fokus terhadap rejeki maka ketidakseimbangan hidup akan terjadi. Orang yang terlalu fokus pada satu hal maka dia akan meninggalkan dan mengabaikan kepentingan lainnya, dan tidak akan peka dengan yang lainnya. Untuk itu perlu menyeimbangkan dengan konsep lainnya seperti konsep yin yang, atau lainnya.

Kondisi berkelimpahan rejeki ini jika tidak hati hati juga akan menimbulkan perilaku dan sikap sombong, dan cenderung untuk “berpenampilan beda”. Perilaku ini tentunya akan menimbulkan “kecemburuan akumulatif” bagi etnis lainnya, yang nantinya dapat di sulut dengan mudah oleh orang yang tidak bertanggungjawab. Kita masih ingat kejadian kerusuhan nasional yang terjadi sekitar bulan mei 1998, yang berawal dari solo. Kerusuhan nasional itu tidak terjadi begitu saja, tapi sudah di dahului oleh kebencian akumulatif yang sering diperbincangkan seperti “kerja dengan orang china itu tenaga kita diperah sampai habis”, “dasar china pelitnya minta ampun”, “rumah-rumah china yang tertutup, mau nemui orangnya, yang menyambut malah anjingnya” nah …. Umpatan, gerutuan yang terjadi sebelumnya membuat sentiment akumulatif dari etnis lain. Sikap etnis china pada waktu itu juga kurang “ngeh” sehingga cenderung mengabaikan. Sehingga ketika mei 98′ di sulut dengan aksi penjarahan dan pembakaran, tidak ada pembelaan terhadap etnis china bahkan ada yang ikutan menjarah.

Kita semua tentunya tidak menginginkan peristiwa mei 98 terulang kembali. Perbaikan sikap sangat diharapkan kita  bersama agar ada keseimbangan dalam bermasyarakat yang multietnis ini.  Perubahan itu tentunya berangkat dari afirmasi di dalam ritual kepercayaan yang dilakukan, saya sebagai orang luar “etnis china” (saya jawa tulen, lahir di solo dan menetap di solo), jarang bahkan tidak pernah mendengar ritual china yang fokus kepada “berbagi, solidarity, dan hal hal sejenis”. sekali lagi ini pandangan subjektif saya , maaf jika ini kurang sesuai atau malah tidak sesuai sama sekali. saya harapkan jika ada pembaca dari etnis tionghoa bisa memberikan pencerahan terhadap saya tentang pandangan saya ini.

———————

saya sebagai muslim sebenarnya malu, saya dan umat islam lainnya, dididik Allah SWT untuk selalu mengafirmasi rejeki, keberuntungan dan keberkahan. Hal ini kami lakukan pada saat sholat yaitu pada saat duduk iftirasy. kita selalu memohon rizki. Namun, kesungguhan kami dalam memohon rejeki kurang, dan tidak begitu percaya kepada Allah, sehingga akibatnya tingkat perekonomian orang islam dan orang china pun jauh berbeda.

Saya banyak mengambil pelajaran dari apa yang dilakukan oleh etnis tionghoa , bagaimana mereka berdoa, bagaimana doa mereka sampai menimbulkan semangat mencari rizki, bagaimana doa mereka bisa benar benar mendatangkan rizki. Kepercayaan orang china terhadap para dewa sungguh kuat dan sangat percaya dengan kemampuan ghoib yang dimiliki para dewa tersebut.

SUNGGUH SAYA MELIHAT KESUNGGUHAN ORANG CHINA DALAM HIDUP, DAN INI PERLU KITA CONTOH.