Belajar Makrifat apa menjalani ma'rifat ??? (3)

untuk apa belajar lama-lama tentang ilmu hakikat makrifat kalau semua tinggal dijalani. mengenal Allah tidak diperlukan kenal seperti kenalnya para aulia atau para nabi… ya kenalnya semampu kita kenal dengan Allah. yang sedikit yang sederhana kita kenal dengan Allah itulah yang kita gunakan kita pake kita jalani. contoh kalau kita mau ke pasar atau ke suatu tempat yang mungkin agak jauh… kita hanya punya sepeda motor untuk menjangkaunya.. ya sudah tinggal tancap gas saja pergi berjalan ,.. kenapa kita harus nunggu punya mobil ya kelamaan wong punya kita cuma motor, lain dengan yang sudah mobil … namun belum tentu juga .. bahwa yang punya mobil dipakai untuk berjalan menuju ke Allah.. bisajadi kan dia berilmu makrifat tinggi tapi tidak dipakai untuk hidup keseharian. allahpun tidak melihat ilmu kita atau alat yang kita pakai kok, tapi Allah melihat kesungguhan kita dalam menuju kepada Nya.

Continue reading “Belajar Makrifat apa menjalani ma'rifat ??? (3)”

Dua unsur pada manusia dan potensinya

Manusia terdiri dari dua unsur yaitu unsur tanah dan ruh. Mula-mula Allah ta’ala menciptakan Adam dari tanah dan kemudiain ditiupkan ruhNya, sehingga manusia Adam itu menjadi hidup, mampu mengingat, berfikir, berkehendak, merasa mencintai, dan kemampuan-kemampuan lainnya. Hal ini ijelaskan dalam Surat As-Sajadah 32:9

Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam tubuhnya Ruh (ciptaan) Nya dan dia menjadikakn kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, (tetapi) kamu sedikit bersyukur.

Kejadian di atas mengisyaratkan bahwa Ruh dan jiwa merupakan dimensi yang berlainan, sekalipun keduanya tak terpisahkan selama manusia masih hidup. Kemampuan psikis atau kejiwaan manusia dapat berkembang setelah ditiupkan Ruh kedalam jasad, sehingga manusia dapat mendengar, merasa dan berfikir.

Keberadaan ruh ini, meskipun bukan dalam kontek agama, dinyatakan Viktor Frankl seorang tokoh psikologi humanis bahwa antara dimensi ruh dan dimensi jiwa tidaklah sama, dimensi ruhani inilah kita dapat dikatakan manusia.

Dijelaskan oleh Ali Shariati (dalam, Bastaman 1995) Ruh yang ditiupkan Tuhan kepada Adam adalah the spirit of God (Ruh Illahi). Unsur tanah dan Ruh seakan-akan kutub-kutub yang berlawanan tanah adalah unsur yang bersifat fisik, statis, mati dan letaknya rendah. Sedangkan Ruh Illahi sifatnya metafisis (gaib) dinamis dan menghidupkan dan letaknya luhur (tinggi). Unsur tanah melambangkan dimensi jasmani, sedangkan Ruh ilahi adalah unsur ruhani manusia. Keduanya berbeda tapi tak terpisahkan ketika manusia hidup.

Dua hal tersebut menunjukkan bahwa manusia memiliki dua kemungkinan yakni manusia yang dapat meraih derajat yang tinggi dan juga dapat mejerumuskan diri pada derajat yang serendah-rendahnya. Dengan kata lain manusia di satu pihak manusia dapat secara sadar mampu mengarahkan dirinya secara sadar menuju derajat ruhani yang luhur, tetapi lain pihak dapat mengumbar dorongan-dorongan jasmani yang serba rendah.

Disinilah letaknya kehendak bebas, manusia diberi kebebasan untuk memilih mendenkatkan diri ke kutub ruh Illahi atau ke arah kutub tanah, dan kebebasan atau freedom of will ini merupakan karateristik menusia yang tidak ditemukan pada makhluk lain, serta merupakan anugerah Tuhan yang khusus diberikan kepada manusia. Inilah keunggulan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya, ia memiliki kebeasan untuk menentukan jalan hidup yang ditempuhnya, lepas dari baik buruknya jalan hidup itu. Bahkan dalam beragama pun manusia diberi kebebasan apakah ia akan mengikuti jalan yang benar atau tidak (Surat Al-Baqoroh:256).

Dalam kajian psikologi humanistik freedom of will ini tidak dapat dilepaskan dengan tanggung jawab terhadap keputusan yang diambil. Dengan demikian rasa tanggung jawab merupakan hal yang senantiasa dituntut dari manusia serta merupakanjuga salah satu karateristik eksistensi manusia. Dalam hal ini setiap orang harus bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnyadan memikul akibat perbuatannya itu, dalam istilah jawa disebut dengan ngunduh wohing pakarti