fenomena paradox pemilihan kepala daerah

tak jarang kita terheran heran ketika melihat pemenang pemilu adalah calon yang dijelekkan calon yang di sepelekan calon yang dijatuhkan diftinah dan lainnya. Fenomena paradox dalam pemilu ini tidak tanpa alasan, itu terjadi karena ada suatu respon masyarakat indonesia yang memiliki sikap simpatik kepada siapapun yang di jatuhkan, terlepas dari yang dijatuhkan itu benar atau salah. Banyak juga calon pemimpin yang benar benar “tidak layak” tapi karena “ketidaklayakan” itu di ekspos dan dibesar-besarkan maka yang terjadi adalah sikap simpati dari pemilih maka tak ayal masyarakat berbondong bondong memilih calon yang “tidak layak” tadi. Calon yang tidak banyak meng-counter apa apa yang dijelekkan kepada nya ternyata juga mendapat simpati yang luar biasa dari masyarakat, seolah masyarakat tahu mana pemimpin “yang sabar” dan pemimpin yang tidak sabar. Kesabaran adalah hal yang penting bagi seorang pemimpin. kemudian juga sikap pasif ketika menghadapi “dijelek-jelekkan” menunjukkan sikap dewasa sikap “ngemong” dan imaje ini jika sampai masuk ke persepsi masyarakat maka tidak akan dapat ditukar dengan uang. nampaknya maysarakat indonesia secara bawah sadar mereka lebih memilih pemimpin yang memiliki kepribadian yang positif, dari pada kepandaiannya dalam berorasi, membuat program.

paradox berikutnya adalah omongan yang muluk muluk janji yang tidak realistis. hal itu sudah terbaca di bawah sadar masyarakat pasti ini “pembohong”, dan ini pasti nantinya korupsi dan seterusnya. kenapa terjadi proses bawah sadar seperti ini karena masyarakat sudah lama di “bohongi” ketika pembuatan program, ketika kampaye.

paradox lainnya adalah masyarakat anti pati dengan calon pemimpin yang ambisius, terlebih masyarakat muslim. Karena dalam islam dikenal “jangan memberi jabatan kepada orang yang meminta jabatan”. dalam bawah sadar kita ketika ada orang yang terlalu ambisius pasti ada udang di balik batu, ada yang mau cari kekayaan, adaya yang gila jabatan, ada yang berniat tidak baik dan lainnya. Pasti masyarakat akan lebih memilih calon pemimpin yang cool yang calm… tapi memiliki sikap empati yang besar kepada masyarakat.

nah agar fenomena paradox ini tidak terjadi maka calon pemimpin atau kepala daerah harus memperhatikan fenomena ini dan harus mengantisipasi. Dinamika pemilu sangat cepat dan berubah, namun sikap dewasa, sabar dan tidak ambisius harus tetap di bawa selama pemilu. Masyarakatpun demikian jika ingin calonnya terpilih maka fenomena paradox ini juga harus diperhatikan. jangan sampai menjelekkan calon lawannya secara “overdosis” membuat rekayasa rekayasa demo yang jelas nampak mata itu adalah untuk memenangkan calonnya… itu jelas sekali merugikan calonyang diusungnya. seperti demo 212, 313 dan lainnya yang menjatuhan Ahok, maka simpati masyarakat akan berada di Ahok, demo demo itu sebaiknya jangan di lakukan sebab akan menaikkan pamor Ahok di mata masyarakat.