Testimoni DNers hari ini bisa untuk pelajaran bagi kita

testimoni 1

Ja Lank Just share dr pengalaman sendiri;
Kurang lebih 2 bln saya latihan sendiri dengan mengikuti smua petunjuk DN, sampai saat ini blm mendpt pengalaman spiritual. Bhkan saya kurang paham secara Ngeh (merasakan) bagaimana sebenarnya kesadaran atau rasa sadar yg sesungguhnya itu..? skali saya memikirkan/merasa-rasakan sadar justru hilang consent. Tp secara jujur saya merasakan ketenangan hati wktu praktik DN. Terutama pas melepas nafas.. yg saya rasakan spt ada sesuatu yg mengumpul di dlm perut dan tidak dimana-mana (tidak bisa di bahasakan/diungkapan). Seperti kepasrahan.. pasrah sepasrah-pasrahnya dan tidak berfikir apa-apa. Jika saya tidak salah…. Spt smacam dorongan ingin menangis tanpa sebab.
Benar atau salah… yg saya alami ini, saya sendiri tidak mengerti.. sy akan terus belajar (semampu saya).
Mohon bimbingan dari pak Pur and saudara” senior… Terima kasih… salam…

jawab 

alhamdulillah, pak ja Lank apa yang dilakukan sudah benar, tidak peduli apakah dzikir nafas menimbulkan sensasi tertentu apa tidak pokoknya dzikir, dzikir dan dzikir, seperti pak jokowi sekarang he he kerja, kerja dan kerja. 

 

testimoni 2

Christony Ugeng Mahayundy kalo dari pengalaman sy dlm DN, memang tidak harus ada pengalaman tertentu, malah kita harus melepas kemelekatan utk mengharap akan mendapat pengalaman spiritual tertentu, karena hal tsbt kadang malah bakal menjadi sandungan dlm DN.Rasa ingin menangis,kepasrahan ygbetul2 sumeleh… kadang2 juga muncul….kondisi semacam ini bagi sy jauh lbh bermanfaat krn membuat DNners..lbh tawadhu..sumeleh hanya kpd Alloh.Merasa tidak berpikir apa-apa juga merupakan proses berpikir….jadi sy lbh mengalihkan pada kepasrahan/sumeleh dngn menyebut namaNYA di “dalam” spt petunjuk Pak Purwanto ttg DN.ini pengalaman sy,jk ada yg kurang tepat mohon petunjuknya Pak Pur….maternuwun.

 

Jawab

Betul pak Crish bahwa sensasi yang terlalu diperhatikan malah menjadikan hambatan dalam menuju ke Allah. sama dengan pak Ja Lank kunciinya untuk menembus sensasi tidak lain adalah pasrah, pasrah dan pasrah… sama seperti jokowo lagi ya … kerja ..kerja dan kerja … 

 

model pendidikan pondok pesantren yang makin lama makin ketinggalan jaman…..

Sudah saatnya berubah; saat kitab kitab digitalize, bimbingan dan pengajian sudah model online, quran, hadis bahkan kitab sudah ada di gadget, ketika bahasa asing sudah bisa di terjemahkan melalui mbah google…

nyantri sampai 9 – 15tahun saya kira bisa di persingkat menjadi 1 atau 2 tahun saja tentunya dengan model digitalisasi dan pendidikan dengan teknologi mutakhir, sehingga dalam dunia pondok yang dinamakan dengan “ilmu alat” sudah banyak tergantikan dengan teknologi itu artinya bahwa materi “ilmu alat” harus di alihkan ke teknologi, santri cukup diajari dengan bagaimana memanfaatkan gadget untuk mendapatkan dalil-dalil dari  hadis quran dan kitab kita kuno. Santri tidak perlu di bebani dengan hafalan hafalan , karena sudah ada asisten yaitu gadget yang bisa sewaktu waktu bisa di akses.

pendidikan santri selain mengenalkan gadget juga diberi bekal bagaimana cara cara mengamalkan quran dari pada mempelajarinya, jadi pondok pesantren seharusnya lebih menjadi tempat “mengamalkan quran” dari pada tempat belajar al quran. karena memang sejak jaman  rasulullah lebih menekankan amal dari pada ilmu. kalau ndak percaya bisa dilihat sejarahnya, bagaimana Rasulullah mendidik para sahabat, didikan Rasulullah lebih pada amal dari pada ilmu. Tidak pernah kita lihat sejara Rasulullah mengadakan “pengajian rutin” , pengajian ahad pagi, pengkajian islam sampai bertahun tahun… tidak ada, yang ada adalah amal, amal dan amal. Sejarah rasulullah , ketika seorang itu masuk islam setelah syahadat maka langsung disuruh menjalankan, tidak ada masuk islam kemudian belajar di madrasah dulu.. tidak ada…

baik kembali ke model pendidikan pondok pesantren, saat ini memang sudah banyak pondok pesantren yang modern namun masih sangat banyak yang pondok pesantren yang sangat tradisional, bahkan sangat kolot. ini yang perlu sama sama kita bangun. Kita kasihan generasi islam, yang belajar di pondok pesantren sampai 15an tahun keluar dari pondok kurang memiliki peran di masyarakat.. kalau pun berperan hanya sebagai penceramah, mubaligh …. sangat disayangkan, melihat dari jumlah waktu belajar yang puluhan tahun dari hasil yang tidak maksimal. sekarang bisa anda bayangkan jika sekolah selama 15 tahun kemudian model pendidikannya menggunakan teknologi pasti hasilnya akan sangat luar biasa.