February 2022

Menyerap energi Ilahi atau Mencelupkan Ke Dalam lautan Energi Ilahi ?

kalau kita gunakan ego maka bahasanya menjadi menyerap, menarik, memagnit, energi Ilahi, tapi kalau menggunakan jiwa yang egonya nol, maka jiwa ini masuk dalam lautan energi Ilahi. Kalau kita tanpa ego maka kita berserah diri dalam lautan energi Ilahi, bukan menggunakan energi Ilahi. Maka bahasa Quran sangat jelas yaitu Sibghoh, yaitu celupan Allah. Artinya bahwa ketika kita tercelup kita tidak lagi menarik energi Ilahi.

ada perbedaan lagi, kalau kita menyerap, menarik, memagnit energi ilahi kita menggunakan akal pikiran kita tapi kalau kita mencelupkan diri dalam lautan energi kita menggunakan kesadaran kita untuk berserah dalam lautan energi Ilahi.

Pemahaman tentang perbedaan ini penting, agar kita tidak terjebak dengan menggunakan dengan sombong dengan ego, terkait dengan energi ilahi ini, misalnya menyembuhkan dengan energi Ilahi, menarik rejeki dengan energi ilahi, mempengaruhi orang dengan energi Ilahi , untuk kesaktian kesaktian dengan menggunakan energi Ilahi…. dan lain sebagainya. Kita harus sadar bahwa manusia tidak akan mampu apa apa, terlebih memiliki kemampuan menarik, menyerap energi Ilahi.

Hidup itu sudah ada yang mengatur hidup itu sudah ada energinya, hidup itu sudah memiliki kekuatan. Tidak perlu kita menarik narik energi ilahi, toh tidak kita tarik pun segala sesuatu tetap bergerak , tetap hidup. Kita hanya diberikan kesadaran dan berdoa kemudian ber azam setelah itu mencelupkan diri dalam energi ilahi dengan penuh kepasrahan dan keridhoan.

Aku Bukan Allah

Orang yang mengaku Allah, tidak salah.  karena dia terjebak dalam keakuannya sendiri dan tidak bisa keluar, sehingga ketika menuju ke Allah terjadi proses transisi  dan gagal untuk memfanakan egonya, sehingga terjadilah pengakuan sebagai Allah.

Biasanya orang yang mengaku Allah, tidak pernah sujud kepada Allah, tidak pernah shalat dan tidak menjalankan syariat Rasulullah.

Dia bangga dengan pencapaian bahwa dirinya secara tidak sadar terjebak dalam keakuan sendiri. bangga bahwa dia adalah Allah. Akulah Allah….

tapi orang orang yang mengaku Allah ini , dia hanya sebatas angan angan, karena ketika dia dihadapkan pada perut lapar, dia tetap cari makan, ketika dia dihadapkan Cicilan hutang di BRI dia kelimpungan cari duit untuk bayar. Meski dia mengaku Allah dia tidak bisa mengenyangkan perutnya dia tidak bisa mendatangkan uang bim salabim untuk bayar hutangnya.

Aku bukanlah Allah, tapi Aku lenyap dan yang adalah yang sadar yaitu jiwa yang fitrah. Yang menyaksikan Allah dalam segala Dzat, Sifat dan Af Al nya.

Belajar ke Allah Terhalang karena Guru

bagaimana bisa belajar ke Allah terhalang karena guru yang ngajari.  Salah murid atau salah gurunya ? belajar berjalan ke Allah tidak sama dengan belajar pakai otak. Kalau ngaji tajwid, fiqh itu pakai pikiran, tapi kalau belajar berjalan ke Allah itu ya pakai pikiran dan pakai kesadaran. Nah orang belajar ke Allah tapi pakainya pikiran, lha ini.. murid bisa terjebak dengan akal pikirannya sendiri sehingga akal pikiran ini menyebabkan hijab, kok bisa … ok begini… ketika seorang murid itu menggunakan pikiran dalam belajar menuju ke Allah, maka dia akan menggunakan persepsi persepsi dirinya untuk menilai … ya menilai gurunya, menilai ajarannya dan menilai perilaku gurunya. Al hasil dia terjebak pada penilaiannya sendiri.  Padahal gurunya pun sedang berjalan menuju kepada Allah, nggak ada guru makrifat yang katanya sudah sampai, yang katanya sudah sempurna , kalau mati baru sempurna, tapi kalau masih hidup guru makrifat akan terus belajar dan belajar.

Dalam proses belajar berarti sama sama menjadi murid, yaitu muridnya Allah. Namanya murid, si guru tersebut banyak dididik oleh Allah sebagai guru sejati. Dididikan Allah ini yang kadang di luar kebiasaan orang umumnya. nah muridnya si guru makrifat ini, melihatnya gurunya perilakunya aneh perilakunya egois … nah inilah karena kesalahan berpikir murid yang banyak menilai gurunya akhirnya dia terhijab dan berprasangkan buruk terhadap gurunya. Posisi murid seperti ini dia turun pasti, sebab tiudak ada guru yang sudah sempurna dalam berjalan menuju kepada Allah.

Kalau kita belajar kepada seseorang, saya selalu menerapkan konsep khusnudzan kepada guru, sebab ada rahasia yang ada pada guru tersebut yang kadang ditutup Allah dengan perilakunya. Sikap saya ini, awalnya berlebihan sehingga dengan guru guru yang ngajak tidak ke Allahpun saya samakan, sehingga beberapa kali berguru saya merasa di tipu (sebab guru tersebut ngajak tidak lurus ke Allah). Nah sekarang saya sebagai murid memiliki ukuran yang pasti khusnudzan jika guru tersebut hanya mengajarkan untuk lurus ke Allah, tidak ke yang lain seperti kesaktian, rejeki belimpah dan lainnya.

sebagai keimpulan bahwa kita dalam belajar ke Allah harus menggunakan kesadaran dan pikiran hanya dipakai untuk membedakan ini guru ngajak ke Allah ataut tidak.

Scroll to Top