ada dua versi dalam mengartikan manunggaling kawulo gusti
- mengartikan bahwa manunggaling itu diibaratkan seperti bercampurnya antara kopi dan gula dimana sudah tidak bisa dibedakan lagi mana gula dan mana kopinyaÂ
- ada juga yang mengartikan bahwa manunggaling kawulo gusti itu diibaratkan seperti garam yang di masukkan ke dalam lautan dimana garam sudah masuk ke lautan dan bersatu di lautan
Kedua pengertian tersebut tidak sama dengan kajian hakikat makrifat dalam islam. Sebab baik pengertian pertama dan kedua masih menggunakan ego, artinya masih mengandung makna bersatu atau manunggal. Yang pertama jelas sekali manunggalnya antara gula dan kopi yang kedua jelas sekali manunggalnya garam dengan air laut.
Di dalam kajian hakikat makrifat dalam islam tidak ada istilah bersatu, sebab konsep islam adalah berserah, ketika berserah total maka tidak ada lagi yang namanya aku yang ada adalah Aku. tidak ada lagi yang namanya ego tapi yang ada adalah diri.
Dalam islam sangat kuat sekali dalam peniadaan ego ini bahkan setiap amal ibadah mengharus kita untuk meniadakan ego (ananiah). Jadi pengertian manunggaling kawulo gusti hanya pas untuk sistem kepercayaan lain dan bukan islam. Islam jelas laa ilaha ilallah, artinya hanya Allah saja, tidak ada kita tidak ada aku dan tidak ada kami yang lebur.
pengertian ini untuk meluruskan pemahaman kita bahwa kaum sufi dan tasawuf tidak mengenal istilah manunggaling kawulo gusti, istilah ini jika dihembuskan oleh orang orang yang anti pati tasawuf yang selalu menuduh bahwa aliran tasawuf adalah sesat.