akhir akhir ini anda telah dan mungkin akan disuguhi beberapa tindak kekerasan yang dilakukan anak. bagaimana anak SD memukuli kawannya hingga kesakitan. mungkin kita juga bingung sebenarnya ini main main atau sungguhan. kadang kita juga susah membedakan anak yang bermain dan sungguhan. antara main dan niat jahat si anak. pada kejadian seperti ini banyak yang saling tuding, pihak sekolah menuding lingkungan keluarga, ornga tua menuding sekolah, dan masyarkat menuding media sosial.. bahkan psikolog pun ketika diminta pendapat juga tuding sana tuding sini… (untungnya saya tidak diwawancarai he he )
saya tidak akan melihat siapa yang salah, pada kasus ini kemudian yang benar siapa? dari pada kita mencari kesalahan mari kita mencari kebenaran dari perllaku ini. saya akan melihat dari sisi kebenaran dari munculnya kekerasan tersebut. Jika anak melakukan perbuatan kekerasan pada kawannya maka itu adalah benar karena di rumah dikondisikan seperti itu. bagaimana perilaku orang tua memberikan modelling yang sesuai dengan apa yang dilakukan anak disekolah. Pembiaran orang tua dalam pergaulan anak sehingga anak dengan bebas memodel siapapun di lingkungannya. permainan permainan dan tontonan kekerasan yang di lakukan anak memiliki peran yang tidak sedikit. kalau dia benar benar melakukan kekerasan itu buah akumulasi dari apa yang dilakukannya dalam permainan permainan. seolah jika dia bisa memukul dia bisa berperan seperti apa yang sudah ditontonnya dan anggapan bahwa dirinya hebat dirinya pahlawan dan dirinya pemberani akan disandangnya sama pada tontonan film dimana sang pahlawan yang memukuli musuh hingga baba belur disanjung dan di puja. Tentunya anak tidk mampu berpikir lebih panjang kalau perbuatannya itu adalah perbuatan yang justru membuatnya di kutuk habis habisan oleh lingkungannya bukan mendapatkan sanjungan dan pujian.
pihak sekolah meski bukan agen perubah dari akhlak anak tentunya tidak bisa disalahkan. Sekolah ibarat tempat menghafal pelajara , tempat manambah ilmu, tempat guru menyelesaikan berbagai kurikulum tentunya tidak bisa disalahkan. karena tidak ada perjanjian yang pasti apakah setelah selesai sekolah ada jaminan perubahan akhlak, tentu tidak. namun yang perlu disesalkan adalah tingkat keamanan di sekolah bagi anak. ironi kalau sekollah itu sudah tidak menjamin perubahan akhlak dan juga tidak menjamin keselamatan anak. Tentunya ini menjadi perhatian sekolah dimana sekolah harus bertanggungjawab penuh terhadap keselamatan anak. kasus bullying, kasus anak ngompas yang lain, kasus pengeroyokan seharusnya tidak terjadi di sekolah dan harusnya sekolah menindaktegas hal hal yang dapat mengganggu keselamatan siswa yang lain.
solusi masalah ini memang tidak mudah … tidak semudah para psikolog katakan… kita harus memulai dari riset awal dari pelaku kekerasan pada anak… baik dari keluargam, sekolah dan lingkungan dimana dia tinggal.
riset ini tentunya akan menjadi perhatian dari orang tua, sekolah dan terutama pemerintah. ada perubahan sistem pendidikan di tingkat keluarga, sekolah dan lingkungan.
saya yakin pelaku kekerasan memiliki karateristik yang sama baik ditingkat sekolah, keluarga dan lingkungan.
masyarakat saat ini dan keluarga juga perlu memperhatikan aspek pendidikan akhlak kepada anak, bukan materi atau teori pendidikan namun lebih pada pengkondisian anak. anak yang terkondisi dengan baik maka dia akan melakukan hal hal yang baik, jika anak dikonsisikan dengan hal hal yang tidak baik maka dia berpotensi melakukan hal hal yang tidak baik.
model pendidikan berbasis “pengkondisian” ini sudah saya susun dalam bentuk pendidikan spiritual parenting. Dalam pendidikan berbasis pengkondisian spiritual ini akan menjadikan anak selalu sadar dan mampu berperilaku positif. Referensi anak akan selalu menuntun akan untuk berperilaku dengan benar dan baik. meski kadang anak melihat film kekerasan namun karena sudah tertanam “spiritual” dalam dirinya tidak akan terpengaruh oleh tontonan kekerasan tersebut.