Puasa: Dari Syariat ke Hakikat (referensi)

Oleh Jalaluddin Rakhmat kompas 25 nov 2005

“PADA zaman Nabi Syuaib, seseorang menemui sang Nabi: Tuhan telah melihat semua perbuatan buruk yang aku lakukan. Tetapi karena kasih sayang-Nya, ia tidak menghukumku. Tuhan kemudian bicara kepada Syuaib: Jawablah dia. Kamu berkata Tuhan tidak menghukumku. Sebaliknyalah yang terjadi. Tuhan telah menjatuhkan hukuman, tetapi kamu tidak menyadarinya. Kamu sudah berputar-putar tanpa arah di rimba belantara. Tangan dan kakimu terbelenggu. Kamu adalah pool yang terus menumpuk karat. Makin lama kamu makin buta dari hal-hal rohaniah. Ketika asap menjilati poci tembaga yang baru, orang akan segera melihat bekasnya. Tetapi dengan permukaan yang segelap kamu, siapa yang tahu kapan ia menjadi lebih hitam. Di kala kau berhenti tafakur, tumpukan karat menembus masuk ke cermin jiwamu. Tak ada lagi gemerlap di dalamnya. Jika kamu menulis sekali di atas selembar kertas, tulisanmu terbaca jelas. Jika kamu terus-menerus mencoreti kertas yang sama, tulisanmu takkan terbaca. Tenggelamkan dirimu dalam asam yang membersihkan tembaga. Kikis habis noda-noda hitammu. Begitulah Syuaib berkata, dan dalam satu tarikan napas bunga-bunga mawar merekah di dada orang itu. Tetapi masih juga ia berkata: Aku tetap minta tanda bahwa Tuhan sudah menghukumku. Tuhan berkata melalui Syuaib: Tak akan Kuungkapkan rahasiamu. Akan Aku berikan padamu tanda supaya kamu mengerti. Kamu telah melakukan banyak ibadah, puasa, salat, dan zakat; tetapi tak satu pun kaurasakan lezat! Banyak sekali kulit kacang tetapi tidak ada kacang manis di dalamnya. Mesti ada rasa, mesti ada biji kenikmatan. Tanpa itu, biji arbei tak akan melahirkan benih yang kelak menjadi pohon yang berbuah. Amal gersang tanpa rasa tidak berguna. Bentuk tanpa jiwa hanyalah khayalan hampa.”

Surat bi-ja-n naba-syad ju-z khaya-l. Bentuk tanpa jiwa hanyalah khayalan hampa. Dengan itu, Jalaluddin Rumi mengakhiri satu paragraf puisinya dalam Matsnawi II, 3420-3450. Jika Anda sudah tidak dapat menikmati ibadah Anda, Anda sedang mendapat hukuman Tuhan. Ketika kemaksiatan terus-menerus dilakukan, yang pertama kali diambil Tuhan dari para penyembah-Nya adalah “jiwa” keberagamaan. Salat hanya tinggal gerak badan tanpa getaran hati. Masjid berubah dari tempat beribadah menjadi saluran pengerahan massa (dan dana). Ibadah haji dan umrah menjadi salah satu di antara sejumlah wisata. Baitullah hanya tampak sebagai seonggok batu dari zaman purba; tidak berbeda dengan Tembok Cina atau Menara Pisa. Zakat dikeluarkan sama beratnya dengan pajak. Dan puasa menjadi rangkaian upacara kesalehan yang lewat begitu saja setelah usai bulan Ramadhan.

Nabi Muhammad SAW bersabda, ”Banyak sekali yang berpuasa yang tidak memperoleh apa pun dari puasanya kecuali lapar dan dahaga.”

Ketika seorang perempuan mencaci-maki pembantunya, Nabi menyuruhnya berbuka. ”Bagaimana mungkin kamu berpuasa sedangkan kamu mencaci-maki hamba Tuhan?”

Apa yang ditegaskan Nabi dalam sabdanya itu adalah puasa tanpa jiwa, dan karena itu tanpa kelezatan. Lalu apa jiwa dari puasa?

Hakikat puasa

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Semua amal anak Adam dilipatgandakan. Kebaikan dilipatgandakan sepuluh sampai seratus kali. Kecuali puasa, kata Tuhan. Puasa untuk Aku dan Aku yang akan memberikan pahalanya. Orang yang berpuasa meninggalkan keinginannya dan makanannya hanya karena Aku.

Bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan: kebahagiaan ketika ia berbuka dan kebahagiaan ketika ia berjumpa dengan Tuhannya” (Bukhari dan Muslim).

Jadi, hakikat puasa, menurut Nabi SAW, adalah meninggalkan keinginannya untuk menjalankan perintah Tuhan; menanggalkan kehendak diri dan menjalankan kehendak Ilahi.

Sayyed Hossein Nasr, dalam Ramadan: Motivating Believers to Action: An Interfaith Perspective, yang disunting Laleh Bakhtiar, menulis tentang puasa dengan sangat menyentuh, tetapi mendalam: “Aspek paling sulit dari puasa ialah ujung pedang pengendalian diri yang diarahkan pada jiwa hewani, the carnal soul, al-nafs al-ammarah seperti disebut dalam Al Quran. Dalam puasa, kecenderungan jiwa hewani untuk memberontak perlahan-lahan dijinakkan dan ditenangkan melalui penaklukkan kecenderungan ini secara sistematis pada kehendak Ilahi. Setiap saat merasakan lapar, jiwa seorang Muslim diingatkan bahwa demi mematuhi perintah Ilahi, gejolak jiwa hewani harus dikesampingkan. Itulah sebabnya, puasa bukan hanya menahan diri dari makan, tetapi juga menahan diri dari semua dorongan hawa nafsu.

Sebagai akibat dari pengendalian sistematis ini, jiwa manusia menjadi sadar bahwa ia tidak tergantung pada lingkungan alam di sekitarnya. Ia sadar bahwa ia berada di dunia ini tetapi bukan bagian daripadanya. Orang yang puasa dengan penuh keimanan segera menyadari bahwa ia hanyalah peziarah di dunia ini dan ia diciptakan sebagai makhluk yang ditakdirkan untuk mencapai tujuan di seberang wujud material ini…

Lebih-lebih lagi, sifat segala sesuatu yang semula kosong dan fana sekarang muncul sebagai anugerah Ilahi. Makan dan minum yang kita anggap sebagai hal biasa sepanjang tahun, pada waktu puasa, tampak sebagai karunia dari surga (ni’mah) dan mencapai makna rohaniah seperti sebuah sakramen.

Berpuasa adalah memakai perisai kesucian menghadapi hawa nafsu duniawi. Puasa bahkan secara fisik memasukkan ke dalam tubuh kesucian kematian yang tentu saja digabungkan dengan kelahiran spiritual. Dalam puasa manusia diingatkan bahwa ia telah memilih Tuhan di atas hawa nafsu. Oleh karena itulah, Nabi SAW sangat mencintai puasa. Inilah unsur dasar dari apa yang kita kenal sebagai kefakiran spiritual Muhammad, seperti dalam sabdanya: ‘kefakiran rohaniah adalah kemuliaanku.’

Kematian nafsu membersihkan jiwa manusia dan mengosongkan air kotor dari residu psikisnya yang negatif. Sang individu-dan melalui dia umat Islam-direnovasi dengan puasa dan diingatkan akan kewajiban dan tujuan moral dan spiritual. Oleh karena, itulah kedatangan bulan penuh berkah ini disambut dengan gembira. Di bulan ini pintu-pintu surga dibuka lebar-lebar bagi kaum beriman dan rahmat Ilahi turun kepada para pencarinya. Melaksanakan puasa berarti mengalami peremajaan dan kelahiran kembali yang mempersiapkan setiap Muslim menghadapi tahun berikutnya dengan tekad untuk hidup dan bertindak sesuai dengan kehendak Ilahi. Puasa juga menaburkan wewangian rohaniah kepada jiwa manusia, yang harumnya akan terus tercium lama setelah periode menahan diri berakhir. Puasa memberikan jiwa sumber energi yang akan menggerakkannya sepanjang tahun.”

Walhasil, hanya puasa dengan hakikatnya, puasa dengan rohnya yang memberikan kelezatan rohaniah; yang menjadi sumber kekuatan Muslim dalam menghadapi gelombang kehidupan. Ketika ia berpuasa sebenarnya, yakni menundukkan seluruh dirinya pada kehendak Ilahi, ia menyerap tenaga yang tak terhingga. Puasa menjadi sumber energi yang membersihkan jiwa dan raganya.

Larry Dossey, seorang dokter, menghabiskan usianya untuk meneliti pengaruh doa terhadap kesehatan tubuh. Doa seperti apakah yang mempunyai pengaruh besar bagi penyembuhan penyakit, fisikal maupun psikologis? Ia sampai pada kesimpulan bahwa healing words yang kemudian menjadi judul bukunya-hanya terjadi jika orang yang menyampaikan doa itu melakukan centering. Centering adalah meniadakan diri dan melenyapkan diri kita pada Pusat Wujud, central core of being. Dossey mengutip psikolog Lawrence LeShan yang menulis, “Orang hanya sampai pada modus ini, jika ia sudah berhasil, walaupun untuk sekejap, menyerahkan semua keinginan dan hasrat dirinya… dan orang lain… dan membiarkan dirinya berada, dan karenanya berada bersama, dan menjadi satu dengan semua wujud.”

Meniadakan diri dan menenggelamkan diri pada Yang Mahaada adalah hakikat puasa. Sebelum sampai ke situ, seorang Muslim harus menjalankan tarekat puasa. Di sini, ia mengendalikan semua alat indranya-yang lahir dan batin-dari melakukan hal-hal yang tidak dikehendaki Tuhan. Ia bukan saja mengendalikan mulutnya dari menyebarkan gosip, intrik, makian, dan ancaman, tetapi juga mengendalikan daya khayalnya dari rencana-rencana jahat atau niat-niat buruk. Ia tidak saja menutup mata lahirnya dari pandangan yang dilarang Tuhan, tetapi juga menutup daya pikirnya dari melakukan kelicikan, pengkhianatan, dan penyelewengan. Jauh sebelum sampai ke tarekat puasa, seorang Muslim tentu saja harus memenuhi syariat puasa, paling tidak menahan diri untuk makan, minum, dan seks sejak terbit fajar sampai tenggelam matahari.

Pada tingkat syariat pun, para ahli fikih menegaskan bahwa puasa harus disertai dengan niat yang berdasarkan keimanan dan keinginan untuk memperoleh ridho Tuhan. Tanpa iman-nan wahtisa-ban, puasa kita tidak sah. Jadi, termasuk yang menentukan sah tidaknya puasa adalah niat. “Sesungguhnya setiap amal itu bergantung kepada niatnya,” sabda Nabi SAW, yang dikutip Bukhari, sebagai hadis pertama dalam kumpulan hadisnya.

Berdasarkan niatnya, ada dua macam puasa. Pertama, puasa yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dirinya di atas kebutuhan untuk mendapatkan ridho dan ampunan Tuhan. Kedua, puasa yang dilakukan untuk memperoleh ridho Tuhan di atas kebutuhan-kebutuhan dirinya. Secara syariat, yang pertama, dihitung tidak sah. Secara psikologis, ia juga dianggap keberagamaan yang tidak dewasa.

Keberagamaan ekstrinsik dan intrinsik

Para psikolog pernah berdebat tentang apa yang mereka sebut sebagai the great paradoxes of the psychology of religion. Mereka tidak mengerti mengapa agama yang mengajarkan persaudaraan di antara sesama manusia melahirkan para pemeluk yang memiliki tingkat prasangka yang tinggi. Penelitian demi penelitian menunjukkan ada hubungan yang erat antara perilaku beragama (seperti rajin beribadah, pergi ke gereja atau masjid) dengan prasangka, prejudice. Secara sederhana, penelitian-penelitian menunjukkan bahwa makin rajin orang beribadah, makin besar prasangkanya pada kelompok manusia yang lain.

Prasangka adalah pandangan menghina terhadap kelompok lain. Anggota-anggota kelompok lain dianggap inferior, lebih rendah derajatnya, tidak sepenuhnya dianggap manusia. Untuk itu, kepada kelompok lain itu digunakan label-label atau gelar-gelar yang melepaskan mereka dari sifat kemanusiaannya. Kita menyebut mereka munafik, sesat, pengikut setan, atau bangsa lain (tidak sebangsa dengan kita). Setelah dicabut dari segala sifat manusianya, mereka tidak lagi patut dikasihani dan karena itu boleh saja difitnah, dirampas haknya, dianiaya, atau sedikitnya dicampakkan kehormatannya. Mereka dianggap sumber dari segala sifat buruk: malas, immorial, tidak jujur, licik, bodoh, jahat, kejam, dan sebagainya. Penelitian klasik tentang prejudice dilakukan Adorno et al (1950). Waktu itu, Adorno mengidentifikasi beberapa karakteristik prejudice: kepribadian otoriter, fanatisme kesukuan (etnosentrisme), konservatisme politik dan ekonomi, dan anti-Semitisme.

Jadi, sangat mengherankan, mengapa orang-orang saleh sering menampakkan prejudice lebih besar dari orang yang kurang saleh. Allport berusaha menjawab paradoks ini dengan membagi dua macam keberagamaan: tidak dewasa dan dewasa. Keberagamaan yang tak dewasa, agamanya anak-anak, memandang Tuhan sebagai “Bapak” yang bertugas melayani kehendaknya: merawat, menjaga, dan mengurus segala keperluannya. Keberagamaan seperti ini cocok untuk masa kanak-kanak, tetapi menjadi disfungsional ketika orang beranjak dewasa.

Keberagamaan yang tak dewasa bersifat menghakimi dan menilai orang lain. Orang menjalankan praktik-praktik agama untuk memenuhi kebutuhannya.

Kelak Allport merevisi teorinya dengan menyebutnya keberagamaan ekstrinsik dan keberagamaan intrinsik. Menurut Allport, dalam orientasi ekstrinsik, orang menggunakan agama untuk tujuan-tujuan pribadi. Nilai-nilai ekstrinsik bersifat instrumental dan utilitarian. Agama digunakan untuk berbagai tujuan-mendapatkan rasa aman, status atau pembenaran diri…. Dalam bahasa teologi, tipe ekstrinsik menghadap Tuhan tanpa berpaling dari dirinya.

Buat orang yang berorientasi intrinsik, motif keagamaan diletakkan di atas segala motif pribadi. Sekadar contoh, ketika seorang Muslim berjuang, ia meletakkan ke-ridho-an Tuhan di atas segala kebutuhan-kebutuhan pribadinya. “Ridho dari Allah lebih besar” (Al-Quran 9:72). Ia akan mengorbankan kepentingan kelompoknya jika kepentingan itu menyebabkan ia tidak lagi dapat memenuhi kehendak Ilahi.

Dengan sangat mengagumkan, “survei membuktikan” bahwa prejudice memang hanya berkaitan dengan orientasi keberagamaan yang ekstrinsik. Dalam istilah syariat puasa, prejudice dan juga penyakit penyakit psikologis lainnya hanya berkaitan dengan orang yang menjalankan puasa untuk kehendak dirinya. Orang yang menikmati puasanya hanyalah orang yang melakukan puasa karena keimanan dan karena memenuhi kehendak Ilahi, ima-nan wahtisa-ban.

Inilah puasa yang difirmankan Tuhan: ”Puasa hanyalah untuk Aku dan Aku sendiri yang akan memberikan pahalanya.” Puasa yang dilakukan bukan untuk Tuhan adalah puasa tanpa jiwa. Surat bi-ja-n naba-syad ju-z khaya-l. Bentuk tanpa jiwa hanyalah khayalan hampa.

(Jalaluddin Rakhmat, Direktur Pusat Kajian Tasawuf Tazkiya Sejati, Jakarta )

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.