Dzikrullah antara Terjemahan dan Kajian Psikologi Kognitif

Dzikir diartikan sebagai ingat. Pengertian ingat ini masih mentah, karena tergantung yang diingat apa. Ketika yang diingat adalah benda yang dapat diingat, berarti memang artinya ingat. Misalnya dzikrul maut, ingat mati, jelas ini bisa diingat, karena mati adalah riil atau sesuatu yang dapat dicerna sesuatu yang dapat di persepsi, sesuatu yang dapat dilihat. Kata dzikir jika objek dzikir nya adalah sesuatu yang bisa dipikir maka artinya menjadi ingat.

sekarang lain masalah jika ingat ini yang diingat adalah Allah SWT, atau sering kita sebut dengan dzikrullah. Dzikrullah diartikan sebagai ingat Allah, ini adalah terjemahan yang asal menggabungkan saja antara dzikir dan Allah, dengan tidak memperhatikan apa yang diingat atau apa yang di dzikiri. Dan terjemahan ini yang umum ada di 100% terjemahan di seluruh nusantara baik malaysia, singapura dan indonesia. Terjemahan ini tidak memperhatikan bahwa Allah memiliki sifat laisa kamitslihi syaiun artinya Allah memiliki sifat tidak sama dengan apapun. kata apapun ini berarti tidak dapat dipikir, tidak pernah bisa dipersepsi, apalagi disentuh dilihat atau di raba. Saya kira ini juga sejalan bahwa kita dilarang untuk memikirkan Dzat Allah, termasuk juga ingat Allah, ingat Allah adalah aktivitas berfikir tentang Allah. Jadi penggunaan arti dzikrullah sebagai ingat Allah selain dilarang dalam islam, juga menyalahi dari pada kemampuan pikiran dalam mengingat Allah.

lalu bagaimana jika tidak menggunakan kata ingat Allah dalam dzikrullah. Kembali kepada dasar bahwa dzikir tergantung dari apa yang di dzikiri, kalau yang di dzikiri benda riil ya pakai ingat, tapi ketika yang di dzikiri adalah Dzat yang tidak sama dengan apapun berarti kita harus menggunakan alat lain yang bukan pikiran. Kita gunakan jiwa atau nafs kita dalam dzikrullah yaitu dengan kesadaran yang dimiliki jiwa. Jiwa yang sadar Allah, itulah Dzikrullah.

penggunaan sadar Allah dalam dzikrullah sangat tepat dan sesuai, sebab perintahnya adalah menyadari Allah yang dekat, menyadari Allah yang menguasai alam semesta. Hal ini jika kita menggunakan kalimat ingat Allah tentu akan kesulitan, Allah itu dekat, kalimat ini mengacu pada “sadarilah Allah yang dekat” bukan ingat Allah yang dekat, kenapa …. ya kalau dekat kenapa harus diingat?.

Kajian psikologi kognitif membuka wacana tentang dzikrulah ini ke ranah pemberdayaan umat yang luar biasa, Sebab potensi manusia terletakĀ  bukan pada pikiran atau ingatannya tapi pada kesadarannya. Psikologi kognitif sekarang masuk generasi ke tiga artinya sudah mencapai pembahasan mengenai mindfulness, mindfulness membahas meta kognitif, artinya pembahasan yang sudah masuk kepada wilayah kesadaran atau suatu kemampuan dalam diri manusia yang menyadari pikiran.

Kemampuan ekstra manusia tentang kesadaran diatasnya berpikir, atau kesadaran diatasnya rasa, tentunya hal ini akan membuka ruang ruang pembahasan bagaimana islam ini menyadari tentang Allah, bukan lagi mengingat tentang Allah.

konsep ini saat ini sebagian besar umat islam masih belum bisa menerima, meski kajian psikologi kognitif generasi atau gelombang ketiga sudah membahas dan sudan membuktikan ini melalui kajian mindfulness. Sebab implikasi dari kesadaran inilah sangatlah berbahaya bagi musuh musuh islam, yang telah berhasil membungkam kesadaran umat islam sekian ratus tahun terhitung sejak kejayaan islam pudar. Belum lagi resiko jika pamahaman ini dibenarkan, maka seluruh terjemahan quran di seluruh nusantara baik indonesia malaysia brunei akan di rombak total dengan mengganti ingat Alah menjadi sadar Allah. Tapi dengan izin Allah pemahahaman yang benar ini akan tetap dilanjutkan, agar kesadaran akan Allah bangkit dan islam mencapai kejayaan yang hakiki.